Keraton Surakarta Hadiningrat
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Keraton Surakarta atau lengkapnya dalam bahasa Jawa disebut
Karaton Surakarta Hadiningrat adalah istana Kasunanan Surakarta. Keraton ini
didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II (Sunan PB II) pada tahun 1744 sebagai
pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan
1743. Istana terakhir Kerajaan Mataram didirikan di desa Sala (Solo), sebuah
pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan (sungai) Beton/Sala. Setelah resmi istana
Kerajaan Mataram selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta
Hadiningrat. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kerajaan
Mataram oleh Sunan PB II kepada VOC pada tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti
tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kasunanan
Surakarta. Kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal
sunan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kerajaan hingga
saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Solo.
Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi
milik kasunanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika
pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah
satu contoh arsitektur istana Jawa tradisional yang terbaik.
Pendopo Keraton pada zaman pemerintahan Susuhunan Pakubuwono
X, foto diambil tahun 1910. Koleksi Tropenmuseum, Belanda.
Keraton (Istana) Surakarta merupakan salah satu bangunan
yang eksotis di zamannya. Salah satu arsitek istana ini adalah Pangeran
Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I) yang juga menjadi arsitek
utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pola dasar
tata ruang kedua keraton tersebut (Yogyakarta dan Surakarta) banyak memiliki
persamaan umum. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang
ini tidaklah dibangun serentak pada 1744-45, namun dibangun secara bertahap
dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya.
Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh
Susuhunan Pakubuwono X (Sunan PB X) yang bertahta 1893-1939. Sebagian besar
keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran
Jawa-Eropa.
Salah satu ruangan Keraton pada zaman Pakubuwono X, gaya
arsitektur jawa dipertahankan dalam bentuk bangunan namun di dalamnya diisi
dengan berbagai macam perabotan Eropa, foto diambil tahun 1910. Koleksi
Tropenmuseum, Belanda.
Secara umum pembagian keraton meliputi: Kompleks Alun-alun
Lor/Utara, Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Sitihinggil Lor/Utara, Kompleks
Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti, Kompleks Kedhaton, Kompleks
Kamagangan, Kompleks Srimanganti Kidul/Selatan (?) dan Kemandungan
Kidul/Selatan, serta Kompleks Sitihinggil Kidul dan Alun-alun Kidul. Kompleks
keraton ini juga dikelilingi dengan baluwarti, sebuah dinding pertahanan dengan
tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa
anjungan. Dinding ini melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang.
Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh
ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam dinding adalah dari
Kemandungan Lor/Utara sampai Kemandungan Kidul/Selatan. Kedua kompleks
Sitihinggil dan Alun-alun tidak dilingkungi tembok pertahanan ini.
Kompleks Alun-alun Lor/Utara [sunting]
Kompleks ini meliputi Gladhag, Pangurakan, Alun-alun utara,
dan Masjid Agung Surakarta. Gladhag yang sekarang dikenal dengan perempatan
Gladhag di Jalan Slamet Riyadi Surakarta, pada zaman dulu digunakan sebagai
tempat mengikat binatang buruan yang ditangkap dari hutan. Alun-alun merupakan tempat
diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu
alun-alunmenjadi tempat bertemunya raja dan rakyatnya. Di pinggir alun-alun
ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah alun alun terdapat dua
batang pohon beringin (Ficus benjamina; Famili Moraceae) yang diberi pagar.
Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (harifah: beringin yang
dikurung) yang diberi nama Dewodaru dan Joyodaru. Di sebelah barat alun-alun
utara berdiri Mesjid Ageng (Masjid Raya) Surakarta. Masjid raya ini merupakan
masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono III (Sunan PB
III) pada tahun 1750 (Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan Islam). Bangunan
utamanya terdiri dari atas serambi dan masjid induk.
Kompleks Sasana Sumewa dan kompleks Sitihinggil Lor/Utara
Sasana Sumewa merupakan bangunan utama terdepan di Keraton
Surakarta. Tempat ini pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menghadap
para punggawa (pejabat menengah ke atas) dalam upacara resmi kerajaan. Di
kompleks ini terdapat sejumlah meriam diantaranya di beri nama Kyai Pancawura
atau Kyai Sapu Jagad. Meriam ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung. Di
sebelah selatan Sasana Sumewa terdapat kompleks Sitihinggil.
Sitihinggil merupakan suatu kompleks yang dibangun di atas
tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang,
satu disebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil dan satu disebelah selatan
yang disebut dengan Kori Renteng. Pada tangga Sitihinggil sebelah utara terdapat
sebuah batu yang digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala Trunajaya yang
disebut dengan Selo Pamecat.
Bangunan utama di kompleks Sitihinggil adalah Sasana
Sewayana yang digunakan para pembesar dalam menghadiri upacara kerajaan. Selain
itu terdapat Bangsal Manguntur Tangkil, tempat tahta Susuhunan, dan Bangsal
Witono, tempat persemayaman Pusaka Kebesaran Kerajaan selama berlangsungnya
upacara. Bangsal yang terakhir ini memiliki suatu bangunan kecil di
tengah-tengahnya yang disebut dengan Krobongan Bale Manguneng, tempat
persemayaman pusaka keraton Kangjeng Nyai Setomi, sebuah meriam yang konon
dirampas oleh tentara Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia. Sisi luar
timur-selatan-barat kompleks Sitihinggil merupakan jalan umum yang dapat
dilalui oleh masyarakat yang disebut dengan Supit Urang (harfiah=capit udang).
Kompleks Kemandungan Lor/Utara
Kori Kamandungan dilihat dari arah halaman Kemandungan Lor
dengan Bale Roto didepannya dan Panggung Sangga Buwana yang menjulang tinggi
sebagai latar belakang.
Kori Brajanala (brojonolo) atau Kori Gapit merupakan pintu
gerbang masuk utama dari arah utara ke dalam halaman Kemandungan utara. Gerbang
ini sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam istana yang dilingkungi
oleh dinding istana yang disebut baluwarti) yang menghubungkan jalan sapit
urang dengan halaman dalam istana. Gerbang ini dibangun oleh Susuhunan Paku
Buwono III dengan gaya Semar Tinandu. Di sisi kanan dan kiri (barat dan timur)
dari Kori Brajanala sebelah dalam terdapat Bangsal Wisomarto tempat jaga
pengawal istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng. Di
tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong. Bangunan yang
terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Dari halaman ini pula
dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana
(Panggung Songgo Buwono) yang terletak di kompleks berikutnya, Kompleks Sri
Manganti.
Kompleks Sri
Untuk memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui
sebuah pintu gerbang yang disebut dengan Kori Kamandungan. Di depan sisi kanan
dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru dan putih ini terdapat dua arca. Di
sisi kanan dan kiri pintu besar ini terdapat cermin besar dan diatasnya
terdapat suatu hiasan yang terdiri dari senjata dan bendera yang ditengahnya
terdapat lambang kerajaan. Hiasan ini disebut dengan Bendero Gulo Klopo. Di
halaman Sri Manganti terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Smarakatha
disebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur.
Pada zamannya Bangsal Smarakatha digunakan untuk menghadap
para pegawai menengah ke atas dengan pangkat Bupati Lebet ke atas. Tempat ini
pula menjadi tempat penerimaan kenaikan pangkat para pejabat senior. Sekarang
tempat ini digunakan untuk latihan menari dan mendalang. Bangsal Marcukundha
pada zamannya digunakan untuk menghadap para opsir prajurit, untuk kenaikan
pangkat pegawai dan pejabat yunior, serta tempat untuk menjatuhkan vonis
hukuman bagi kerabat raja. Sekarang tempat ini untuk menyimpan Krobongan
Madirenggo, sebuah tempat untuk upacara sunat/kitan para putra Susuhunan.
Di sisi barat daya Bangsal Marcukundha terdapat sebuah
menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana. Menara yang
memiliki tinggi sekitar tiga puluhan meter ini sebenarnya terletak di dua
halaman sekaligus, halaman Sri Manganti dan halaman Kedhaton. Namun demikian
pintu utamanya terletak di halaman Kedhaton.
Kompleks Kedhaton
Susuhunan Pakubuwono X (membelakangi kamera) mengucapkan
salam perpisahan kepada Sultan Hamengkubuwono VII di halaman Kedhaton, foto
diambil ketika Sultan Hamengkubuwono berkunjung ke Solo beserta dengan Putra
Mahkota dan Sri Paku Alam antara tahun 1910-30. Koleksi Tropenmuseum, Belanda
Kori Sri Manganti menjadi pintu untuk memasuki kompleks
Kedhaton dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh Susuhunan Pakubuwono IV
pada 1792 ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat
dengan Pangung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Semar
Tinandu ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan
kiri pintu ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias diatas pintu. Halaman
Kedhaton dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh
berbagai pohon langka antara lain 76 batang pohon Sawo Kecik (Manilkara kauki;
Famili Sapotaceae). Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung
bergaya eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama diantaranya adalah Sasana
Sewaka, nDalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga
Buwana.
Sasana Sewaka aslinya merupakan bangunan peninggalan pendapa
istana Kartasura. Tempat ini pernah mengalami sebuah kebakaran pada tahun 1985.
Di bangunan ini pula Susuhunan bertahta dalam upacara-upacara kebesaran
kerajaan seperti garebeg dan ulang tahun raja. Di sebelah barat Sasana ini
terdapat Sasana Parasdya, sebuah peringgitan. Di sebelah barat Sasana Parasdya
terdapat nDalem Ageng Prabasuyasa. Tempat ini merupakan bangunan inti dan
terpenting dari seluruh Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah
disemayamkan pusaka-pusaka dan juga tahta raja yang menjadi simbol kerajaan. Di
lokasi ini pula seorang raja bersumpah ketika mulai bertahta sebelum upacara
pemahkotaan dihadapan khalayak di Sitihinggil utara.
Bangunan berikutnya adalah Sasana Handrawina. Tempat ini
digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini
biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun gala dinner tamu asing yang datang
ke kota Solo. Bangunan utama lainnya adalah Panggung Sangga Buwana. Menara ini
digunakan sebagai tempat meditasi Susuhunan sekaligus untuk mengawasi benteng
VOC/Hindia Belanda yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan yang memiliki
lima lantai ini juga digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal
suatu bulan. Di puncak atap teratas terdapat ornamen yang melambangkan tahun
dibangunnya menara tertua di kota Surakarta.
Bangunan Sasana Sewaka di dalam halaman Kedhaton pada zaman
Pakubuwono X, bangunan ini dikelilingi dengan patung-patung bergaya Eropa, foto
diambil tahun 1910. Koleksi Tropenmuseum, Belanda.
Sebelah barat kompleks Kedhaton merupakan tempat tertutup
bagi masyarakat umum dan terlarang untuk dipublikasikan sehingga tidak banyak
yang mengetahui kepastian sesungguhnya. Kawasan ini merupakan tempat tinggal
resmi raja dan keluarga kerajaan yang masih digunakan hingga sekarang.
Kompleks-kompleks Magangan, dan Sri Manganti, Kemandungan,
serta Sitihinggil Kidul (Selatan)
Kompleks Magangan dahulunya digunakan oleh para calon
pegawai kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah pendapa di tengah-tengah
halaman. Dua kompleks berikutnya, Sri Manganti Kidul/Selatan dan Kemandungan
Kidul/Selatan hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman
raja maupun permaisuri. Kompleks terakhir, Sitihinggil kidul termasuk alun-alun
kidul, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk
memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino yang disebut dengan Kyai
Slamet.
Warisan Budaya
Para tamu agung pada perhelatan ke empat Pisowanan Agung
Tingalan Dalem Jumenengan SISKS. Pako Boewono XIII
Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Surakarta juga
memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah
upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka. Upacara adat yang
terkenal adalah upacara Garebeg, upacara Sekaten, dan upacara Malam Satu Suro.
Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan
dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi.
Garebeg
Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun
kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan
ketiga), tanggal satu bulan Sawal (bulan kesepuluh) dan tanggal sepuluh bulan
Besar (bulan kedua belas). Pada hari hari tersebut raja mengeluarkan sedekahnya
sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah
ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari
gunungan kakung dan gunungan estri (lelaki dan perempuan).
Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan
ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari
sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai
merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Di sisi
kanan dan kirinya dipasangi rangkaian bendera Indonesia dalam ukuran kecil.
Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian
bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras
maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Gunungan ini juga
dihiasi bendera Indonesia kecil di sebelah atasnya.
Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan
selama tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara
ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut
cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam,
Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati,
Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari keraton untuk ditempatkan di depan
Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari, mulai hari keenam sampai kesebelas
bulan Mulud dalam kalender Jawa, kedua perangkat gamelan tersebut
dimainkan/dibunyikan (Jw: ditabuh) menandai perayaan sekaten. Akhirnya pada
hari ketujuh upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan Mulud. Saat ini selain
upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai
sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.
Kirab Mubeng Beteng utawa Malam Satu Suro [sunting]
Malam satu suro dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan
tahun baru menurut kalender Jawa. Malam satu suro jatuh mulai terbenam matahari
pada hari terakhir bulan terakhir kalender Jawa (30/29 Besar) sampai terbitnya
matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya (1 Suro). Di Keraton
Surakarta upacara ini diperingati dengan Kirab Mubeng Beteng (Perarakan
Mengelilingi Benteng Keraton). Upacara ini dimulai dari kompleks Kemandungan
utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengitari seluruh kawasan keraton
dengan arah berkebalikan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman
Kemandungan utara. Dalam prosesi ini pusaka keraton menjadi bagian utama dan
diposisikan di barisan depan kemudian baru diikuti para pembesar keraton, para
pegawai dan akhirnya masyarakat. Suatu yang unik adalah di barisan terdepan
ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama Kyai
Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.
Pusaka (heirloom) dan tari-tarian sakral
Tarian Sakral Bedhoyo Ketawang
Keraton Surakarta memiliki sejumlah koleksi pusaka kerajaan
diantaranya berupa singgasana raja, perangkat musik gamelan dan koleksi
senjata. Di antara koleksi gamelan adalah Kyai Guntursari dan Kyai Gunturmadu
yang hanya dimainkan/dibunyikan pada saat upacara Sekaten. Selain memiliki
pusaka keraton Surakarta juga memiliki tari-tarian khas yang hanya dipentaskan
pada upacara-upacara tertentu. Sebagai contoh tarian sakral adalah Bedaya
Ketawang yang dipentaskan pada saat pemahkotaan raja.
Pemangku Adat Jawa Surakarta
Semula keraton Surakarta merupakan Lembaga Istana (Imperial
House) yang mengurusi raja dan keluarga kerajaan disamping menjadi pusat
pemerintahan Kesunanan Surakarta. Setelah Kesunanan Surakarta dinyatakan hapus
oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1946, peran keraton Surakarta tidak lebih
sebagai Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Surakarta. Begitu pula
Susuhunan tidak lagi berperan dalam urusan kenegaraan sebagai seorang raja dala
artian politik melainkan sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat, pemimpin
informal kebudayaan. Fungsi keraton pun berubah menjadi pelindung dan penjaga
identitas budaya Jawa khususnya gaya Surakarta. Walaupun dengan fungsi yang
terbatas pada sektor informal namun keraton Surakarta tetap memiliki kharisma
tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di bekas daerah Kesunanan
Surakarta. Selain itu keraton Surakarta juga memberikan gelar kebangsawanan
kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa
khususnya Surakarta disamping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun
karena posisi mereka sebagai pegawai (abdidalem) keraton.
Filosofi dan Mitologi seputar Keraton
Setiap nama bangunan maupun upacara, bentuk bangunan maupun
benda-benda upacara, letak bangunan, begitu juga prosesi suatu upacara dalam
keraton memiliki makna atau arti filosofi masing-masing. Namun sungguh
disayangkan makna-makna tersebut sudah tidak banyak yang mengetahui dan kurang
begitu mendapat perhatian. Beberapa diantaranya akan ditunjukkan dalam paragraf
berikut.
Cermin besar di kanan dan kiri Kori Kemadungan mengadung
makna introspeksi diri. Nama Kemandungan sendiri berasal dari kata mandung yang
memiliki arti berhenti. Nama bangsal Marcukundha berasal dari kata Marcu yang
berarti api dan kundho yang berarti wadah/tempat, sehingga Marcukundho
melambangkan suatu doa/harapan. Menara Panggung Sangga Buwana adalah simbol
Lingga dan Kori Sri Manganti di sebelah baratnya adalah simbol Yoni. Simbol
Lingga-Yoni dalam masyarakat Jawa dipercaya sebagai suatu simbol kesuburan.
Dalam upacara garebeg dikenal dengan adanya sedekah raja yang berupa gunungan.
Gunungan tersebut melambangkan sedekah yang bergunung-gunung.
Selain itu keraton Surakarta juga memiliki mistik dan mitos
serta legenda yang berkembang di tengah masyarakat. Seperti makna filosofi yang
semakin lenyap, mistik dan mitos serta legenda inipun juga semakin menghilang.
Sebagai salah satu contoh adalah kepercayaan sebagian masyarakat dalam
memperebutkan gunungan saat garebeg. Mereka mempercayai bagian-bagian gunungan
itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan yang baik maupun yang lainnya.
Selain itu ada legenda mengenai usia Nagari Surakarta.
Ketika istana selesai dibangun muncul sebuah ramalan bahwa kerajaan Surakarta
hanya akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua ratus tahun maka
kekuasaan raja hanya akan selebar mekarnya sebuah payung (Jw: kari sak megare
payung). Legenda inipun seakan mendapat pengesahan dengan kenyataan yang
terjadi. Apabila dihitung dari penempatan istana secara resmi pada 1745/6 maka
dua ratus tahun kemudian pada 1945 Indonesia merdeka kekuasaan Kesusnanan
benar-benar merosot. Setahun kemudian pada 1946 Kesunanan Surakarta benar-benar
dihapus dan kekuasaan Susuhunan benar-benar habis dan hanya tinggal atas
kerabat dekatnya saja.
Referensi
·
Aart van Beek (1990). Images of Asia: "Life
in the Javanese Kraton". Singapore: Oxford University Press. ISBN
979-497-123-5.
·
Periplus Edition Singapore (1997). Periplus
Adventure Guide "Java Indonesia". Periplus Singapore.
·
Acara budaya dengan judul Pocung dalam episode
Wewangunan Karaton Surakarta Hadiningrat disiarkan oleh JogjaTV [1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar